Fakfak; MA-news. Fenomena ketiadaan obat di Puskesmas Fakfak mengingatkan kita semua pada sebuah cerita lucu alias MOP yang sering dituturkan sebagai momentum mencairkan suasana ketegangan. Cerita ini diawali dengan kisah seorang pasien yang lagi sakit parah dan hendak berobat ke rumah sakit, namun karena tidak memiliki uang untuk pengobatan serta mahalnya biaya pengobatan membuat dia enggan dan ragu untuk berobat ke Rumah Sakit. Akan tetapi keraguannya ini justru semakin berdampak buruk terhadap kondisi kesehatannya. Pertimbangan kesehatan bercampur niat sembuh akhirnya memaksakannya untuk tetap pergi berobat. Fatal karena setibanya di rumah sakit, justru yang dijumpai adalah seorang dokter yang sangat materialis dan tidak peduli dengan profesi pelayanan terhadap pasien. Bagaimana tidak perjumpaan pasien dengan dokter di buka dengan percakapan “anda sakit, namun berapa duit yang ada di kantong mu?”. Pasien yang sakit berat ini dengan wajah lemas dan ketulusan hati serta harapan pengasihan baik mengatakan bahwa “saya tidak punya duit dok, namun tolonglah saya kasih saya obat untuk penyakit saya ini”. Berharap akan datang pertolongan dari dokter, namun ternyata jawaban yang diperoleh berbanding terbalik dari harapannya. Bagaimana tidak, dokter malah menjawab bahwa “oh maaf bapak tidak punya duit ya, saya tidak bisa kasih bapak obat untuk penyakit bapak, namun nanti saya suntik saja”. Mendengar kata “suntik”, pasien yang memang fobia jarum mulai gelisah, namun karena tidak memiliki uang dan pertimbangan kesembuhan pada akhirnya dirinya pasrah. Al-hasil yang namanya materialis tetap melihat pelayanan dari aspek duit, sang dokter mengambil jarum suntik dan mengisinya dengan “air putih” kemudian disuntikan kedalam tubuh pasien, dan setelah itu menyuruh pasien pulang beristirahat, berselang 2 hari pasien tersebut berjumpa dengan Dokter dan berjabat tangan dengan seraya menyampaikan rasa terima kasih karena dirinya telah sembuh. Sang dokter hanya senyam-senyum sambil berkata “tahukah bapak bahwa waktu itu saya tidak mengisi obat di jarum suntik itu melainkan saya mengisinya dengan air putih”. Bapak sambil penepuk testa kemudian pergi meninggalkan dokter.
Tentunya kita akan tertawa saat membaca dan mendengar cerita di atas, apa lagi jika cerita itu dituturkan dengan gaya berdileg Papua pastinya semua akan terbawa suasana lucunya. Namun bagaimana jika fenomema lucu ini menjadi realita perbadingan terbalik, “Pasien tidak memiliki duit dan juga Puskesmas kehabisan Obat”. Hal ini di jumpai di Puskesmas Fakfak yang berlokasi di jalan Cendrawasih Kelurahan Fakfak Utara. Selasa [4/09/18] sekitar pukul 15.00 waktu Fakfak, salah seorang pasien pengguna Jamkesmas membawa anak laki-lakinya yang baru berusia 2 bulan berobat ke Puskesmas Fakfak, seperti biasanya mereka tetap mendaftarkan diri terlebih dahulu lalu oleh petugas register, disarankan menunggu Dokter karena lagi bersholat. Setelah beberapa menit menunggu akhirnya dokter yang bertugaspun tiba serta langsung melakukan pemeriksaan. Usai pemeriksaan, Dokter kemudian membuat resep obat dan menyerahkan kepada pasien dengan keterangan penjelasan lisan dari Dokter bahwa stock obat untuk bayi lagi kosong, jadi ini resepnya silahkan cari di luar. Dengan wajah lusuh bercampur marah dalam hati ibu tersebut menggendong anaknya dan belalu keluar meninggalkan Puskesmas.
= Analisis Resiko :
- Jika stock obat habis tentunya memberikan dampak buruk terhadap pasien yang berobat di Puskesmas tersebut, apalagi jika pasien dalam keadaan kritis dan membutuhkan penanganan extra tentunya hal ini berpotensi terhadap penghilangan nyawa pasien. jika kondisi ini terjadi siapa yang akan disalahkan? Fatalnya lagi pihak Puskesmas atau Dokter dan medis akan bersembunyi dibalik slogan “Kami sudah berupaya namun Tuhan berkehendak lain”. Jika kalimat ini disampaikan keluarga pasien akan pasrah dan legowo menghadapi realita tersebut. Pada hal jika pasien mempertanyakan apa yang diusahakan medis faktanya wong stok obat saja tidak tersedia.
- Ketiadaan Pasokan Obat di Puskesmas perlu disikapi dengan serius mengingat kondisi ini berkaitan erat dengan nyawa manusia. Ketakutan laten bahwa hal ini melibatkan aktor intelektual Puskesmas Fakfak. Oleh karenanya perlu ada upaya penelusuran dan investigasi terpadu terhadap kondisi ini. jangan-jangan ketiadaan obat ini sebagai akibat kekurangan anggaran pengadaan obat-obatan dan makanan di Puskesmas Fakfak? mengingat fenomena kehabisan obat sudah kerap dijumpai di Puskesmas tersebut. Namun bukankah Alokasi Dana Otonomi Khusus salah satu fokus pembiayaannya untuk biaya Kesehatan masyarakat khususnya [dalam] konteks Papua? Lantas realita Otsus tidaklah relefan dilaksanakan. Karena Jika benar-benar diperuntukan untuk biaya kesehatan semestinya potret ketiadaan obat di Puskesmas Fakfak tidak terjadi, apa lagi terhadap pasien pengguna Jamkesmas. Atau jangan-jangan ada kong-kali-kong yang dilakukan oleh para medis dan dokter terhadap pasien pengguna Jamkesmas di Puskesmas Fakfak, atau ada kompromi berkelompok dibalik alasan ketiadaan obat di Puskesmas Fakfak – hanya petugas yang tahu kebenarannya.
Dilain sisi, alasan ketiadaan stok obat berdampak buruk terhadap Psikologi pasien apalagi pasien pengguna Jamkesmas, tentu saja lambat-laun mereka mulai mengalami krisis kepercayaan terhadap Pemerintah? Pasalnya harapan para pengguna kartu Jamkesmas yang katanya sakti mandra guna ternyata tidak bisa dimanfaatkan [khususnya] dalam konteks pengobatan seperti kejadian di atas. Karena apotik diluar Puskesmas hanya sakti dengan menggunakan “Uang Cash”.