Editorial : Merdeka Untuk Papua! (Sikap Redaksi)

Editorial1486 Views

Gaung merdeka membahana diseluruh pelosok Nusantara kemarin siang, seperti biasa, semua sibuk membuat status jejaring sosial dengan nuansa merdeka, ada yang sibuk dengan beragam tradisi lomba atau bahkan ada yang biasa saja menikmati liburan.

Di Istana Negara Jakarta, pesta megah digelar, ribuan juta uang rakyat termasuk uang yang dipersembahkan rakyat Papua dari hasil bumi yang diobral rugi sejak rezim Soeharto itu, dihabiskan dalam sehari, hanya untuk sebuah kemeriahan merdeka yang seremonial.

Ketika bicara merdeka dan dikaitkan dengan Papua, orang langsung menjadi seolah sensitif, seolah Papua benar-benar ingin berpisah dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, upaya dis-integrasi katanya, parahnya lagi: MAKAR! itu kata mereka yang bicara nasionalisme dalam kerangka penataran P4 ala Soeharto.

Sialnya, orang-orang yang sensi dengan kata merdeka untuk Papua ini tak tahu banyak soal realitas yang terjadi di Papua dan hanya melihat Papua dari bingkai media yang tidak sedikit merupakan “pesanan” pihak-pihak tertentu yang punya kepentingan menyelamatkan kepentingan ekonomis rakus serta politik kotor di Papua.

Orang-orang berpikiran sempit ini tidak pernah tahu bahwa hampir setiap hari orang hilang karena bicara kritis, hampir setiap hari orang diteror karena berani berkata tidak kepada korupsi, bahkan hampir setiap hari pula orang Papua harus berhadapan dengan senjata api siap kokang, senjata yang juga di beli dengan uang rakyat, yah termasuk uang orang Papua yang harus merelakan hidup miskin diatas tanah penuh kemilau emas yang dikeruk ke negeri paman Sam.

Petinggi militer selalu bicara soal merdeka dan damai, namun sudah lebih dari 20 tahun, rakyat Papua tak kunjung jauh dari atribut-atribut militeristik, layaknya zona perang atau bahkan daerah operasi militer yang tak nampak terang-terangan layaknya Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh pada masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarno Putri dimasa silam.

Rakyat Papua seolah tak satupun yang tak bersenjata, seolah tanah yang tak punya hak hidup normal, dan jauh dari kesan militeristik, sehingga dirasa perlu dijaga ketat dibawah kuasa militer pada medan pertempuran, yang tak sedikit menghabiskan uang negara untuk pembiayaannya.

Bicara merdeka untuk Papua tak pernah dimaknai sebagai bentuk kekecewaan turun-temurun atas janji Presiden Pertama RI – Soekarno yang tak kunjung mampu dipenuhi para penerusnya, bahwa Papua menjadi bagian dari NKRI dengan hak sejahtera yang harusnya setara dengan Pulau Jawa serta pulau-pulau lainnya diwilayah NKRI.

Sejak pasca peristiwa 1965 yang mengkudeta Presiden Soekarno dan akhirnya memenangkan Soeharto layaknya raja adikuasa, Papua lagi-lagi ketiban bencana, tanahnya yang sarat emas itu dijual murah kepada Freeport – USA, sialnya kita yang punya tanah, kita yang punya negara, kita yang punya ladang emas itu hanya kebagian recehannya saja.

Catat saja, untuk eksplorasi emas, Freeport menghasilkan 40,8 Ton atau 40.800 KG pertahunnya, jika 1 KG emas saja setara dengan 500 juta rupiah, maka Freeport telah mengantongi 20,4 Trilyun Rupiah, rata-rata per hari Freeport meraup 55,89 Milyar Rupiah. Mari kita kalikan sejak era tahun 60-an, Angka yang fantastis bukan?

Berapa yang kita atau Papua dapat dari perut buminya? Berdasarkan PP No. 45/2003, royalti yang didapat Indonesia hanya sebesar 1% untuk emas dan 4% untuk tembaga.

Siapa menang banyak?

Itu baru soal bagi hasil rugi kita dengan Freport yang menginjak-injak tanah Papua, belum lagi soal raja-raja kecil yang terpelihara disana.

Tindak korupsi dan politik uang, bukan lagi hal yang luar biasa terjadi di Papua, secara lantang banyak oknum-oknum politikus dan pejabat Papua meminta anggaran yang besar dari APBN ataupun APBD, namun nyatanya rakyat Papua terus miskin, bahkan untuk memperoleh akses informasi berbasis internet saja, orang Papua harus merogoh kocek sedikitnya Rp. 20 ribu rupiah per_jam hanya untuk menyewa jasa warnet (Warung InternetRED).

Bicara Papua dan korupsi selalu saja tak pernah mampu tercium hingga ke pusat pemerintahan, banyak pejuang anti korupsi harus hengkang dari Papua hanya untuk menghindari beragam teror dan intimidasi ditingkat lokal.

Sialnya mereka yang hengkang dari Papua untuk memperjuangkan pemberantasan korupsi birokrasi itu, lantas dikriminalisasi dan ditangkapi dengan tuduhan bagian dari Organisasi Papua Merdeka (OPM).

Cara pengkriminalisasian yang sangat gampang dan mampu mengecoh kita-kita yang tak paham benar realitas kondisi Papua.

Jadi salahkan jika Papua akhirnya benar-benar tertarik untuk merdeka dalam arti kata melepaskan diri dari NKRI, ketika segala sisi telah dikangkangi para rakus kuasa dan uang, sehingga Papua tak kunjung sejahtera?

Meminjam kata penyair Widji Thukul yang juga dihilangkan oleh rezim Soeharto: “Apabila usul ditolak tanpa ditimbang, Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan, Dituduh subversif dan mengganggu keamanan, Maka hanya ada satu kata: lawan!.” (DSPSH)

Kali Besar, 18 Agustus 2016
Salam;
Redaksi MATA ANGIN NEWS MULTIMEDIA

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *