Ketika orang sibuk membicarakan pemimpin harus bersih, namun nyatanya kita tidak pernah ambil pusing terhadap calon pemimpin yang memiliki rekam jejak tidak bersih.
Dengan alasan belum memilki ketetapan hukum dari pengadilan, dan mengagung-agungkan kalimat “Praduga Tidak Bersalah”, kita kerap kali kecolongan meloloskan para calon pemimpin daerah yang jelas-jelas telah dilaporkan sebagai terduga kasus korupsi, atau bahkan sudah jelas-jelas menjadi tersangkapun kita masih percaya dengan pembelaan para tim sukses yang mempromosikan jago mereka seolah suci bersih.
Tidak sekadar soal korupsi, terkait Kejahatan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) pula, kita belum lupa bahwa diera Pemilu 2014 silam, kita menyaksikan dengan kasat mata, bahwa seorang penjahat HAM yang telah dinyatakan dunia internasional sebagai pelaku kejahatan HAM, malah dipuja-puja seolah seorang kesatria dan mampu melanggang bebas, nyaris saja memperoleh tampuk pimpinan dinegeri ini.
Sampai kapan kita akan terus tertipu dengan polesan pencitraan dan janji kampanye, ketika kita tak segera sadar bahwa membeberkan fakta korupsi dan rekam jejak seorang calon pemimpin negeri, sangat berbeda jauh dengan kalimat kampanye hitam atau bahkan fitnah.
Undang-undang terkait pemilihan umum dan pemberantasan korupsi agaknya telah usang, karena waktu serta pergerakan otak manusia terus bergerak dinamis, manusia kian pintar mencari celah pada setiap aturan, bahkan ideom “Aturan Dibuat Untuk Dilanggar” itu tak pernah bisa dibantah, karena dasarnya manusia senantiasa mencoba melakukan hal yang menguntungkan dirinya sendiri, tiada peduli dengan kepentingan orang lain.
Bukan sedikit pemimpin daerah mulai dari gubernur hingga walikota dilaporkan terduga kasus-kasus korupsi, kantor Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi saksi setiap hari, selalu saja ada pelaporan yang tak pernah tanpa menyertakan bukti-bukti atas apa yang dilaporkan.
Namun yang telah dilaporkan, tetap saja tidak boleh dikatakan sebagai penjahat, bahkan bila tak dibui, maka masih boleh berkeliaran bebas dan sialnya bisa pula mencalonkan diri dalam pemilihan umum.
Namun kita selalu memberi prasangka baik, sementara kerja-kerja pergerakan mengungkap korupsi terus dibusukkan, seolah merupakan kerja-kerja mencari ladang uang atau bahkan kerja-kerja politis untuk meruntuhkan lawan politik melalui isyu korupsi.
Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada) 2017 sudah didepan mata, diberagam daerah telah muncul sejumlah calon kuat yang akan melenggang masuk kancah pertarungan, termasuk yang paling ditunggu publik adalah calon dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI Perjuangan) yang akhirnya memilih petahanan – Basuki Tjahya Purnama alias Ahok sebagi jago mereka.
Di Jayapura – Papua, sama-sama ibukota layaknya Jakarta, petahanan walikota – Benhur Tommy Mano pula nampak akan ikut bertarung memperebutkan kembali tampuk pimpinan di ibukota provinsi yang menjadi ladang subur era otonomi khusus (OTSUS) Papua yang tak kunjung mensejahterakan rakyat Papua itu.
Namun, sama halnya dengan jago petahanan dari Jakarta, kemarin (20/09/2016) sejumlah aktivis anti korupsi dari Jayapura, menggeruduk KPK untuk menghentikan langkah sang petahanan agar tak maju kembali, terkait sejumlah kasus korupsi, mulai dari korupsi tenaga honorer fiktif, Penyimpangan dana Program Peningkatan Pelayanan Kesehatan Anak Balita, hingga kasus-kasus asusila yang mencoreng-moreng makna besar dari kata: “PEMIMPIN BERSIH DAN BERINTEGRITAS” sebagaimana yang kita agungkan selama ini.
Bagaimana mungkin orang yang telah dilaporkan terlibat sebuah kasus yang merugikan negara, namun tidak mengalami kesulitan sedikitpun untuk bisa melangkah kembali mengikuti pertarungan meraih tampuk pimpinan negara?, lalu untuk apa orang boleh melaporkan sebuah kasus disertai bukti, ketika mekanisme pemilu tidak bergeming dengan proses hukum yang tengah berjalan?
Mungkin inilah saatnya bagi kita rakyat yang cerdas, untuk mulai mengembalikan kewarasan politik kita melihat kian kacau-balaunya logika hukum serta asas kepatutan bangsa ini, dalam menyaring calon-calon pemimpin negeri.
Agaknya kalimat: “PENGHAKIMAN DI BILIK SUARA” harus benar-benar digalakkan untuk pendidikan politik kepada rakyat serta dalam kerja-kerja politik di akar rumput, bahwa semua rakyat harus ikut Pemilu, namun katakan tidak untuk mencoblos calon-calon pemimpin yang telah dilaporkan kepada KPK serta institusi hukum lainnya, bahwa terlibat atas serangkaian tindak pidana korupsi yang menyengsarakan rakyat.
Penghakiman dari intitusi hukum terus saja dapat dibelak-belokkan, namum logika hukum dan kecerdasan politik rakyat harus terus dijaga kewarasannya.
KATAKAN TIDAK UNTUK MEMILIH CALON PEMIMPIN YANG TELAH DILAPORKAN KORUPSI KEPADA KPK DAN APARAT HUKUM LAINNYA!
Kali Besar Timur, 21 Sepetember 2016
Salam;
Redaksi MATA ANGIN NEWS MULTIMEDIA
(DSPSH)