JAKARTA (MAnews) – Dua puluh empat tahun menjalani predikat sebagai suhu bagi Djit Khiong adalah sebuah pengabdian yang duniawiyah sekaligus ilahiah yang membanggakan, pengalaman hidup yang luarbiasa untuk terus mendekatkan diri kepada Sang Maha Pencipta serta masyarakat sekitar dimana ia tinggal sejak belasan tahun silam.
Keturunan Tionghua, yah itulah predikat yang selalu disebut oleh golongan yang masih mengutamakan rasial ketika melihat Djit pertama kali, namun ketika mulai bersapa dengannya, orang lantas akan berkata bahwa sosok sahaja ini cepat ramah.
Sore itu (25/08/2016), tim Redaksi MATA ANGIN NEWS MULTIMEDIA diundang eksklusif untuk menghadiri upacara syukuran atas berdirinya Klenteng San Miao Thang, Klenteng yang didirikan sejak tahun 1992 itu merupakan prakarsa Djit yang dibangunnya secara swadaya, dibilangan Cipondoh, Tanggerang Selatan, Provinsi Banten.
“Ini dahulu rumah pertama saya yang mampu saya beli dari hasil kerjakeras saya, saya punya sejenis nazar, kalau sampai saya mampu beli rumah lagi, maka rumah yang penuh kenangan ini akan saya persembahkan untuk Sang Maha Pencipta, siapa saja boleh datang kesini” ujar Djit seraya berkaca-kaca.
Djit memang telah lama mengimpikan mendirikan Klenteng didekat kediamannya, untuk dapat selalu dekat dengan Sang Maha Pencipta.
Sore itu Djit dengan sukacita menyambut setiap tamu dengan hangat, tidak sedikit yang hadir adalah kalangan masyarakat sekitar Cipondoh yang bukanlah merupakan keturunan Tionghua, sekalipun bukan merupakan keturunan Tionghua, Djit menerima tamu-tamunya dengan sangat kekeluargaan, siapa saja boleh masuk dan makan bersama menikmati hidangan yang disajikan diruang tengah dan dimasak sendiri oleh istri tercintanya.
Jurnalis Mata Angin News Multimedia – Donny Suryono PSH dan Juru Kamera – Madya Hartanto disambut oleh Djit sejak dari gerbang Klenteng berlantai dua dan tidak terlalu luas itu, memasuki gerbang Klenteng, kami menyaksikan setumpukan karung beras yang dijajar dan siap untuk dibagikan.
“Oh itu beras untuk bakti sosial Klenteng, untuk masyarakat sekitar yang membutuhkan, sengaja rutin kami sediakan untuk berbagi dari nikmat Tuhan yang telah keluarga kami peroleh, siapa saja dan apapun keyakinannya boleh menerima, karena bagi kami beramal itu melintas batas perbedaan baik suku, ras bahkan keyakinan, kan Tuhan juga tidak punya ras apalagi agama bukan” ujarnya seraya tertawa dan mempersilakan kami masuk keruang depan klenteng.
Kami masuk keteras Klenteng, kami disambut istri Djit yang sudah tertawa sumringah melihat kehadiran kami, setelah bersalaman, kami digiring masuk untuk menuju ruang tengah, disana sudah terhampar beragam menu masakan lezat karya Istri Djit yang sengaja menyajikannya untuk setiap tamu yang hadir hari itu.
“Ini istri saya dan anak-anak saya sendiri lho yang masak, istri saya suka sekali masak dan sangat senang kalau masakannya bisa membahagiakan orang lain, sampai tidak tidur mereka menyiapkannya sejak kemarin lho..” ujar Djit kembali seraya tertawa dan mulai menyodorkan piring kepada kami.
Suasana kekeluarga dan menghargai keragaman keyakinan nampak jelas, secara detail, Istri Djit menerangkan kepada kami setiap detail masakan yang nyaris bercita rasa layaknya restauran mewah itu, bahkan mengetahui bahwa diantara kami berkeyakinan Islam, istri Djit menuntun kami kepada menu-menu masakan yang tidak diolah dengan daging babi.
Kami sedikit nakal bertanya mengapa makanan-makanan yang disajikan begitu mewah serta melimpah, layaknya sebuah pesta pernikahan.
“Kami mempersembahkan acara ini untuk Tuhan, kami melayani semua yang hadir, walau bukan yang seiman, sebagai perwujudan kami melayani kehadiran Tuhan, bagi kami bersyukur adalah berbagi atas segala nikmat yang telah kami terima dari Tuhan, dalam keyakinan Tionghua, bahwa apa yang diberikan kepada orang lain sebagai derma ataupun bentuk rasa syukur itu haruslah sama seperti apa yang kita nikmati sendiri, jangan karena mau dikasihkan keorang lain lalu kita beri seadanya saja atau yang biasa-biasa saja, apa yang anda nikmati malam ini kami anggap dinikmati pula oleh Tuhan sebagai persembahan untuk Tuhan, persembahan untuk kemanusiaan, bersyukur tanpa berbagi kebagiaan itu mustahil karena bersyukur hanya ucapan itu ibarat orang kikir berteriak syukur namun menyimpan rapat hartanya sendiri seolah tak perduli orang lain juga membutuhkan, lalu tega melihat orang mati kelaparan” ujar Djit.
Usai acara makan, kami diajak Djit naik keruang atas Klenteng, mengunjungi tempat persembahayangan dimana setiap harinya puluhan orang datang untuk beribadah dan berkonsultasi dengan Suhu yang penyabar ini.
Tepat dihadapan tempat persembahayangan utama, terdapat kursi jati kokoh berukir motif Tionghua, tempat dimana Djit melayani seluruh umatnya yang ingin berkonsultasi secara rohani ataupun meminta berkat keselamatan serta kesembuhan dari segala macam masalah atapun penyakit.
Setelah menyaksikan suasana kusyuk itu, kami undur diri, sebuah pengalaman menarik bagi kami bersama dengan masyarakat Tionghua yang kerap dianggap eksklusif dan anti sosial, karena bagi kami malam itu, kami menyaksikan sebuah suasana yang nyaris seperti kumpul keluarga, meski tak seiman bahkan tak satu ras, namun semua membaur, makan bersama layaknya sebuah keluarga besar tengah menggelar halal bi halal di hari raya, yah inilah HALAL BI HALAL KELUARGA BESAR RAS MANUSIA. (DSPSH/MH)