JAKARTA (MAnews) – Menjadi mata baca untuk masyarakat Papua dan menjadi media investigatif yang tidak sekadar memberitakan, namun mencari fakta adalah semangat kami dalam membangun media yang anda cintai ini, namun agaknya kekuatan politik kotor serta premanisme yang melindungi serangkaian tindak korupsi di Papua, terus berusaha menjadi hantu bagi jurnalis yang berupaya untuk jujur menyajikan fakta kepada publik.
Jurnalis MATA ANGIN NEWS MULTIMEDIA Biro Papua – Jhon Mandibo bukan pertama kalinya mendapat tugas jurnalistik untuk melakukan investigasi terkait Dugaan Korupsi Dana Bantuan Sosial (BANSOS) dengan dalih program beasiswa “fiktif” keluarnegeri, yang tengah dilaporkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) oleh sejumlah pegiat anti korupsi Papua, dan bukan tidak jarang menerima serangkaian bentuk teror baik melalui SMS maupun melalui jalur komunikasi lainnya.
Meski kerap mendapat teror, namun Jhon tidak pernah gentar berkirim laporan dan mengukap sejumlah fakta, agar media ini selalu mampu memberikan data-data yang valid bagi publik, karena di Papua tidak mudah untuk menjadi media yang berani menguak korupsi para birokrat.
Siang tadi (16/09/2016), ditengah tugas peliputannya, Jhon dihadapkan dengan teror yang makin terang-terangan. Sesosok lelaki muda terus menguntit Jhon, bahkan secara terang-terangan berhenti dan menatap kepada Jhon, seolah memberikan signal tegas bahwa Jhon “Tengah Diawasi”.
“Saat itu saya sedang berada disekitaran Mess Cenderawasih, Jayapura, sedang tugas liputan, tadinya saya pikir hanya perasaan saya saja orang itu mengikuti saya, tapi berulang kali saya berhenti, dia ikut berhenti, ketika saja jalan kearah manapun, dia juga ikut jalan, bahkan dia sempat ikut masuk ke Mess Cendrawasih dan berpura-pura mencari seseorang yang sama sekali tidak ada yang kenal disana, saya pikir itu hanya dalih untuk ingin tahu saya sedang apa didalam mess itu” ungkap Jhon.
Siang itu, Jhon memang tengah bertugas menemui seorang narasumber yang kebetulan ingin diwawancarai didalam mess tersebut. Jhon terus diikuti hingga akhirnya ia mengambil inisiatif untuk membelokkan kendaraannya masuk kesebuah kantor polisi, dan akhirnya si penguntit berhenti menguntitnya.
Bukan rahasia dan bukan hal baru bahwa seorang jurnalis yang tengah mendapat tugas jurnalistik yang terbilang “Sensitif”, akan memperoleh sejumlah ancaman teror atau bahkan perlakuan kekerasan fisik.
Kita belum lupa pada ingatan kita atas nasib Fuad Muhammad Syafruddin yang akrab dipanggil “Udin” – wartawan Bernas yang harus meregang nyawa hanya karena ia kerap menulis artikel kritis tentang kebijakan pemerintahan Orde Baru dan militer. Ia menjadi wartawan di Bernas sejak 1986, 13 Agustus 1996 Udin dianiaya pria tak dikenal di depan rumah kontrakannya, di dusun Gelangan Samalo, Jalan Parangtritis Km 13 Yogyakarta dan akhirnya dibunuh.
Serangkaian kasus intimidasi, teror, atau bahkan upaya kriminalisasi belum lagi berhenti menimpa jurnalis dinegri yang katanya demokrasi ini, hukum seolah terus mencari celah serta mencoba abai terhadap keselamatan para pewarta yang bekerja keras siang-malam hanya untuk menjaga kemerdekaan informasi bagi publik.(DSPSH)