SIKAP REDAKSI: Wahai Presiden Kami, Papua Butuh DAERAH OPERASI DARURAT PEMERINTAHAN SIPIL

Editorial705 Views

Pekan lalu kita mendengar bahwa Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Papua menyatakan sebanyak 4.114 dari total 5.419 kampung di provinsi itu belum teraliri oleh listrik, dan minggu lalu pula kita dengar menyeruak gebu-gebu dari Panglima TNI – Jenderal Gatot Nurmantyo yang akan membangun sebuah pangkalan militer kelas dunia ditanah Papua yang tak pernah berhenti menerima desingan senjata sejak awal integrasinya dengan Indonesia itu.

Dinas ESDM Papua dengan nada prihatin melaporkan bahwa ketidaktersediaannya listrik itu akibat dari proses penganggaran yang tidak memadai, sementara itu sebelumnya, Presiden Joko Widodo telah menyampaikan bahwa akan meningkatkan anggaran untuk Militer Indonesia.

Dalam rapat terbatas yang diadakan hari Selasa (28/04/2016) di Jakarta, Presiden menyatakan akan mengalokasikan anggaran untuk militer Indonesia menjadi Rp 250 triliun jika pertumbuhan ekonomi berada di atas enam persen.

Presiden Jokowi memastikan anggaran TNI akan terus naik setiap tahun. Namun, persentasenya menyesuaikan dengan kemampuan negara.

Pada 2015, anggaran TNI mencapai 0,89 persen PDB, tahun sebelumnya 0,78 persen PDB. Tahun ini anggaran TNI mencapai 1,1 persen PDB.

Ini langkah besar. Hitungan saya tadi kurang lebih bisa mencapai Rp 250 triliun,” kata Presiden.

Artinya, diproyeksikan ada lonjakan anggaran hingga 2,5 kali lipat dari alokasi APBN untuk TNI saat ini. Yaitu, Rp 99,5 triliun.

Dalam kacamata orang awam dan naluri kemanusiaan kita, cara pengalokasian anggaran sedemikian membuat hati kita teriris dan kian melukai hati masyarakat Papua sebagai daerah yang terus mengalami trauma militerisme.

Bagaimana kita dapat dengan teganya mempergunakan uang negara (Baca: UANG RAKYAT!) sebesar itu untuk melengkapi persenjataan dengan tema klasik menjaga keamanan negara, sementara rakyat sebagai pemilik uang sebesar itu masih harus terus hidup dalam kegelapan sekaligus dalam isolir peradaban teknologi?

Membicarakan mencegah upaya disintegrasi Papua, bukan sekadar mendengung-dengungkan kata damai sebagai kesepakatan bersama untuk berbangsa satu, namun agaknya pemerintah diminta bijaksana menilik kembali masa lalu kelam rakyat Papua yang penuh dengan trauma psikologis bahkan sejenis “Dendam” turun-temurun yang terus tergaja kepada TNI sebagai pelaksana penjaga keamanan diwilayah Papua.

Sejak awal integrasi Indonesia dengan Papua, ribuan anak kehilangan orangtua, sanak saudara bahkan orang yang dicintainya, semuanya mereka tenggarai dilakukan oleh unsur-unsur militerisme yang faktanya membentuk dendam kesumat tersendiri bagi rakyat Papua, belum lagi negara (BACA: Pemerintah) dari rezim berganti rezim terus tidak mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat Papua, dengan mempergunakan celah-celah otonomi daerah yang sejatinya kacau balau.

Pemerintah pusat tidak pernah paham bagaimana otonomi daerah bahkan otonomi khusus (OTSUS) di Papua telah menciptakan dinasti-dinasti korup lagi menindas, menjadikan dana-dana OTSUS sebagai bahan bancakan para rezim tirani yang terus beregenerasi masuk kedalam sistem pemerintahan di Papua, termasuk menjadikan ajang Pemilu sebagai pesta bagi kuasa rakus dan milik kelompok sendiri.

Jika pemerintah pusat bijaksana melihat realitas rakyat Papua di gunung-gunung, didesa-desa hingga pingiran-pinggiran kota di Papua yang masih sangat jauh dari kata layak hidup, seharusnya pemerintah pusat bukan justru memberikan status OTSUS atau bahkan “Diam-Diam” memberikan restu menjadikan Daerah Operasi Militer (DOM) kepada militer dan menaikkan anggaran setinggi-tingginya tanpa pengawasan yang lebih intensif ketimbang daerah lainnya.

Sudah selayaknya Presiden Jokowi sebagai “Presiden Pertama Yang Direstui Papua” dan selalu membanggakan diri dicintai orang Papua itu, memberikan perhatian khusus kepada militerisme dan birokrasi kotor di Papua, dengan memberikan status “DAERAH OPERASI DARURAT PEMERINTAHAN SIPIL

Presiden harus lebih sering berkantor di Papua, memotong satu gerenerasi birokrasi di Papua dan mengambil alih pemerintahan lokal Papua langusung dibawah koordinasi Presiden.

Ini buka ingin menghebohkan Papua agar dianggap lebih penting dari daerah lain, namun ini adalah cara terbaik meredam upaya disintegrasi Papua yang sejatinya hanyalah sebuah “KONFILIK DIPELIHARA” oleh orang-orang yang punya kepentingan ekonomis ketika Papua benar-benar menjadi DOM dan menyetor kepada para petinggi dan atau aktor intelektual di Jakarta.

Presiden harus realistis ketika bicara menjalankan roda kehidupan di Papua, bukan sekadar memperkaya Papua dengan infrastrukturnya, karena nyatanya birokrasi di Papua dengan dana sebesar apapun terus saja tidak mampu mensejahterakan rakyat diladang emas terbesar didunia ini.

Presiden harusnya mampu menangkap siknalemen yang dikirimkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang menyatakan memberikan perhatian dan pengawasan khusus terhadap korupsi di Papua, sebagai sebuah bentuk DARURAT KORUPSI ditanah Papua.

Dan presiden seharusnya tanggap ketika dunia internasional telah melakukan sejumlah desakan kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk serius memantau serangakaian kejahatan Hak Asasi Manusia (HAM) yang terjadi di Papua akibat dari militerisme yang terus dibiarkan.

Ketika konflik di Papua “disetir oleh aktor intelektual di Jakarta”, bukankah wajar bila pemegang kuasa tertinggi dari rakyat (Baca: Presiden) lantas turun tangan atasnama rakyat dari Jakarta dan mengambil alih kekuasaan di Papua untuk kedaulatan rakyatnya?. (DSPSH)

Salam;
Redaksi MATA ANGIN NEWS MULTIMEDIA

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *