Pencitraan Tanpa Pengabdian: Kritik PASTI Indonesia terhadap Alfons Manibuy yang Dinilai Lebih Membela Elite daripada Masyarakat Papua Barat

MataAnginNews, Jakarta, 7 Oktober 2025 — Perhimpunan PASTI Indonesia melayangkan kritik terbuka terhadap Alfons Manibuy, anggota DPR RI dari Dapil Papua Barat, atas pola pencitraan politik yang dinilai tidak mencerminkan keberpihakan terhadap masyarakat. Dalam pernyataan sikap resmi yang diterima redaksi MataAnginNews.co.id, PASTI menilai bahwa Alfons lebih berperan sebagai corong elite kekuasaan—khususnya Menteri ESDM Bahlil Lahadalia dan Partai Golkar—daripada sebagai wakil murni masyarakat Papua Barat yang tengah menghadapi krisis energi, konflik sumber daya alam, dan ketimpangan layanan publik.

Poin-Poin Kritik PASTI Indonesia

1. Pernyataan Alfons soal kelangkaan BBM di “Papua” adalah pengalihan tanggung jawab dari kegagalan struktural di Papua Barat yang ia wakili dan pernah pimpin.

Dalam rapat Komisi XII DPR RI tanggal 3 Oktober 2025, Alfons Manibuy menyampaikan tantangan terbuka kepada perusahaan swasta seperti Shell, Vivo, dan BP untuk membangun SPBU di Papua. Ia menyatakan:

“Mau gak ibu-ibu dari Shell, dari Vivo, dari BP, bangun SPBU di Papua? Pasti gak mau, karena rugi!”

Pernyataan ini seolah menunjukkan keberpihakan terhadap masyarakat, namun secara faktual dan politis sangat menyesatkan:

  • Alfons adalah wakil dari Dapil Papua Barat, bukan Papua. Ia terpilih sebagai anggota DPR RI dari Papua Barat, dan sebelumnya menjabat sebagai Bupati Teluk Bintuni selama dua periode (2005–2015). Maka, ketika berbicara soal kelangkaan BBM, ia seharusnya mulai dari tanggung jawabnya sendiri terhadap Papua Barat—wilayah yang ia wakili dan pimpin selama satu dekade.
  • Teluk Bintuni mengalami kelangkaan BBM kronis selama masa pemerintahannya. Tidak ada dokumentasi publik yang menunjukkan pembangunan SPBU rakyat, kerja sama distribusi BBM dengan Pertamina, atau kebijakan subsidi energi yang menjangkau kampung-kampung terpencil. Bahkan, laporan media lokal dan testimoni warga menunjukkan bahwa antrean BBM, ketergantungan pada pengecer, dan harga yang melambung tinggi sudah menjadi masalah tahunan di Teluk Bintuni sejak era Alfons menjabat.
  • Tidak ada inisiatif regulasi daerah untuk memperkuat distribusi energi. Selama menjabat sebagai Bupati, Alfons tidak menginisiasi Perda atau Pergub yang mengatur distribusi BBM berbasis wilayah adat, SPBU komunitas, atau sistem subsidi transportasi BBM ke distrik-distrik terpencil. Padahal, sebagai kepala daerah, ia memiliki kewenangan penuh untuk mengusulkan regulasi daerah, membentuk BUMD energi, atau mengalokasikan APBD untuk memperkuat akses BBM.
  • Pernyataan di DPR justru mengalihkan tanggung jawab ke perusahaan swasta. Alih-alih mengakui bahwa kelangkaan BBM di Papua Barat adalah warisan dari kegagalan tata kelola daerah, Alfons justru menantang perusahaan swasta untuk hadir di wilayah yang bahkan tidak ia wakili. Ini adalah bentuk pencitraan politik yang mengaburkan fakta dan memindahkan beban tanggung jawab dari negara ke sektor swasta.
  • Pernyataan tersebut juga digunakan untuk membela Menteri ESDM Bahlil Lahadalia. Dalam konteks rapat tersebut, Alfons tampak lebih fokus membela kebijakan Bahlil dan menyerang perusahaan asing, daripada menyampaikan solusi konkret untuk Papua Barat. Ini memperkuat kesan bahwa Alfons lebih berfungsi sebagai corong elite kementerian dan partai, bukan sebagai wakil rakyat yang berpihak pada masyarakat.

2. Pencitraan sebagai “Bapak Pembangunan” dibangun di atas dinasti politik, bukan prestasi struktural.

Alfons secara terbuka mendukung dan mengantar keponakannya, Yohanis Manibuy, dalam Pilkada Teluk Bintuni 2024. Ia menyebut pasangan YoJoin sebagai “pemimpin penuh cinta dan kasih”, bahkan menyatakan bahwa kemenangan mereka adalah “harapan masyarakat”. Namun, klaim ini tidak berdasar pada capaian kebijakan yang melindungi masyarakat adat atau memperbaiki tata kelola sumber daya alam.

  • Selama dua periode menjabat sebagai Bupati Teluk Bintuni, tidak ada Perda yang memperkuat hak masyarakat adat atas tanah dan hutan. Tidak ada sistem perlindungan terhadap ekspansi sawit, dan tidak ada mekanisme partisipatif yang melibatkan kampung-kampung dalam pengambilan keputusan. Bahkan, konflik lahan dan tekanan terhadap wilayah adat justru meningkat di bawah kepemimpinan yang ia wariskan.
  • Dukungan terhadap keponakannya bukanlah bentuk pengabdian, melainkan konsolidasi dinasti politik. Alfons tidak hanya mendukung secara politik, tetapi juga secara struktural—mewariskan jaringan birokrasi, basis suara, dan narasi pembangunan yang tidak pernah diuji secara objektif.
  • Pencitraan sebagai “bapak pembangunan” hanyalah kemasan politik yang menutupi pembiaran terhadap ketimpangan struktural yang ia biarkan tumbuh selama menjabat. Ketika masyarakat adat berhadapan dengan korporasi, Alfons memilih keluarga dan partai.

3. Pencitraan sebagai “wakil rakyat aktif” runtuh saat rakyat bergerak, dan Alfons menghilang.

Ketika masyarakat adat Manokwari melaporkan tambang ilegal kepada Bupati Manokwari, Alfons sebagai anggota Komisi XII DPR RI tidak hadir, tidak bersuara, dan tidak mengambil sikap. Padahal, isu tersebut menyangkut tata kelola sumber daya alam, distribusi BBM, dan hak masyarakat adat—semua berada dalam lingkup tugas komisinya.

  • Justru Bupati Manokwari yang turun langsung dan memperjuangkan agar tambang ilegal milik masyarakat adat ini diubah menjadi Tambang Rakyat yang sah dan diatur melalui Perda, sesuai dengan semangat Otonomi Khusus. Alfons tidak mengawal proses ini, tidak mendorong harmonisasi kebijakan pusat-daerah, dan tidak menyuarakan aspirasi masyarakat adat di Senayan.
  • Tidak ada pernyataan publik, tidak ada dukungan legislasi, tidak ada inisiatif pengawasan. Ketidakhadiran Alfons dalam momen krusial ini menunjukkan bahwa pencitraan sebagai wakil rakyat aktif hanyalah retorika kosong.
  • Ketika rakyat menuntut keadilan, Alfons memilih absen. Ketika elite bicara, Alfons bersuara. Ini bukan keberpihakan. Ini adalah kalkulasi politik yang mengabaikan suara masyarakat.

4. Pencitraan sebagai “pemenang bersih” digunakan sebagai modal politik menuju Pilkada Papua Barat 2029.

Alfons meraih suara tertinggi di Papua Barat dalam Pileg 2024, dengan lebih dari 41.000 suara—28.000 di antaranya berasal dari Teluk Bintuni. Ia mengklaim kemenangan tanpa politik uang, membangun narasi moral sebagai pemimpin bersih. Namun, narasi ini tidak diiringi dengan keberpihakan nyata terhadap masyarakat.

  • Tidak ada sikap terhadap konflik sawit yang merugikan masyarakat adat. Tidak ada inisiatif untuk mengatasi kelangkaan BBM yang masih berlangsung. Tidak ada kehadiran dalam krisis tambang ilegal yang menyentuh langsung wilayah Papua Barat.
  • Tidak ada dorongan untuk memperkuat partisipasi masyarakat adat dalam regulasi energi dan SDA. Tidak ada usulan kebijakan afirmatif untuk kampung-kampung terpencil. Tidak ada audit terhadap izin tambang bermasalah yang beroperasi di wilayah adat.
  • Pencitraan sebagai pemimpin bersih adalah strategi elektoral, bukan cerminan pengabdian. Teluk Bintuni dijadikan batu loncatan, bukan ladang pengabdian. Dan klaim moral tanpa keberpihakan adalah bentuk manipulasi politik yang paling halus.

5. Pencitraan Alfons lebih mencerminkan loyalitas kepada Bahlil dan Golkar daripada keberpihakan rakyat.

Dalam berbagai forum, Alfons tampil sebagai pembela utama kebijakan Bahlil Lahadalia, Menteri ESDM sekaligus Ketua Umum Golkar. Ia lebih banyak bicara untuk melindungi posisi elite daripada menyuarakan keresahan masyarakat Papua Barat.

  • Ketika Bahlil dikritik atas tata kelola tambang dan distribusi energi, Alfons tampil sebagai tameng politik. Ia tidak pernah mengkritisi ketimpangan distribusi BBM di Papua Barat. Ia tidak menuntut transparansi alokasi kuota BBM. Ia tidak mendorong audit terhadap izin tambang bermasalah.
  • Ia tidak menyuarakan aspirasi masyarakat adat yang terdampak langsung oleh ekspansi korporasi dan ketimpangan regulasi. Ia tidak pernah mengusulkan revisi kebijakan ESDM yang berpihak pada wilayah tertinggal. Ia tidak pernah menantang struktur pusat yang mengabaikan Papua Barat.
  • Pencitraan sebagai wakil rakyat independen runtuh di hadapan kenyataan: Alfons adalah corong kekuasaan, bukan suara masyarakat. Ketika masyarakat menuntut keadilan, Alfons sibuk menjaga posisi. Dan ketika partai bicara, Alfons patuh tanpa suara kritis.

Pernyataan PASTI Indonesia ditutup dengan kalimat yang menggugah:

“Alfons Manibuy tidak sedang membela rakyat. Ia sedang membangun panggung. Pencitraan sebagai pejuang BBM, tokoh pembangunan, dan pemenang bersih hanyalah kemasan politik yang menutupi kegagalan struktural, pembiaran konflik, dan absennya keberpihakan. Rakyat Papua Barat tidak butuh panggung. Mereka butuh keberanian. Dan keberanian tidak lahir dari pencitraan. Ia lahir dari pengabdian.” (QQ)