Masyarakat Muslim Papua Barat (Fakfak) Menggelar Aksi Diam Menolak Rasisme Di Papua

Fakfak MA_News. Puluhan Muslim Fakfak pada minggu (14/06/20) menggelar aksi diam (Sillent Action) menolak hasil putusan Pengadilan Negeri Kalimantan Barat terhadap 7 orang Tahanan Politik korban Rasisme di Papua. Aksi yang digelar ini sebagai bentuk protes terhadap praktek putusan hukum di Indonesia. pasalnya keputusan hukum terhadap 7 Tapol asal Papua ini tidak memiliki korelasi yang kuat dengan perbuatan mereka, karena faktanya 7 Tapol yang ditahan di Kalimantan Barat, merupakan korban rasisme yang berlangsung pada agustus 2019 lalu. Namun melalui kekuatan negara dan para palaku hukum di Indonesia, mereka dituduhkan dengan pasal makar. Tentu saja tindakan yang dilakukan para pelakuk hukum di negara ini semakin menimbulkan rasa ketidak-percayaan rakyat Papua terhadap negara.

Aksi diam (Sillent Action) yang dilakukan oleh Masyarakat Muslim Fakfak ini dilakukan dengan cara berdiri dan menahan pamflet yang bertuliskan “BEBASKAN 7 TAPOL RASIS DI KALIMANTAN BARAT TANPA SYARAT” dan “BEBASKAN 23 TAPOL RASIS DI FAKFAK”. Aksi ini pula diharapkan dapat menyadarkan pemerintah pusat bahwa keputusan hukum terhadap 7 Tapol Papua di Kalimantan Barat adalah keputusan yang salah.

Aan Salah satu peserta aksi diam dan juga Ketua Pemuda Muslim Teluk mengatakan bahwa Pemerintah mesti bijak dalam melihat dan memutuskan perkara terhadap 7 Tapol Papua dan 23 Tapol yang di tahan di Polres Fakfak, karena ada mata rantai berkesinambungan yang tidak bisa dilihat secara terputus. Lebih jauh dikatakan oleh AAN bahwa para Tapol ini (Baik 7 orang maupun 23 orang) merupakan peserta aksi rasisme yang terjadi secara kolektif di Papua pada 2019 lalu, lantas mereka kemudian diboyong ke Polda Papua dan selanjutnya dikirim ke Kalimantan Barat. Anehnya dalam Persidangan yang digelar mereka justru dituduhkan dengan sebagai pelaku Makar, yang jelas-jelas sebagai Korban aksi demo Rasis.

Dilain sisi AAN juga menyesalkan keputusan hukum terhadap 7 Tapol karena menurutnya, keputusan ini tidak sesuai. Karena jika hendak jujur, semestinya yang menerima hukuman 5-17 Tahun adalah pelaku Rasisme yang berada di Surabaya bukannya para pendemo rasis yang dikanakan hukuman demikian. Indonesia mesti bercermin dari Amerika Serikat, dimana pelaku pembunuhan George Floyd seorang Afro-Amerika justru mendapatkan hukuman yang setimpal dengan perbuatannya. Tutup AAN. (Red)