Jakarta (MA News) – Aroma-aroma tidak sedap sudah lama tercium dari PT. Asuransi Raya, dimulai dari banyaknya keluhan dari para pemegang polis, baik melalui curhatan-curhatan di media sosial hingga yang teranyar adalah pencabutan izin usaha PT. Asuransi Raya oleh OJK pada medio Juli 2017.
Dari penelusuran MA news, ditemukan fakta lain, selain merugikan sejumlah pemegang polis, beberapa vendor (pihak ke-3) yang pernah bekerja sama dengan PT. Asuransi Raya juga mengalami kerugian yang besar. Salah satunya adalah PT. Putra Hadisurya Mahesa, yang merugi hampir mencapai 2.000.000.000 (dua milyar rupiah). PT.Putra Hadisurya Mahesa sendiri selaku penyedia suku cadang, telah bekerja sama dengan PT.Asuransi Raya sejak 2013, namun pada medio 2015 mulai terlihat tanda-tanda “Kemacetan” dalam penyelesaian kewajiban kepada PT. Putra Hadisuraya Mahesa, hingga akhirnya kemacetan tersebut berubah menjadi stagnan dalam artian tidak ada pembayaran sama sekali kepada PT. Putra Hadisurya Mahesa.
Maka melalui kuasa hukumnya, Mirza Pratama S.H.,CLA dari Victory Law firm, PT.Putra Hadisurya Mahesa melakukan upaya-upaya hukum mulai dari somasi hingga berakhir pada Gugatan Wanprestasi di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Dalam keterangannya kepada MA News, Mirza Pratama,S.H., CLA menjelaskan bahwa PT. Asuransi Raya sendiri sejak awal disomasi mengakui bahwasanya memiliki sejumlah hutang kepada PT.Putra Hadisurya Mahesa selaku Rekanannya,dan akan menyelesaikan kewajibannya terhadap hutang tersebut. Namun yang cukup disesalkan oleh Mirza Pratama, S.H.,CLA realiasi penyelesaian hutang itu tidak pernah diwujudkan, bahkan hingga keluarnya Putusan Pengadilan Nomor : 883/Pdt.G/2016/PN Jkt.sel tertanggal 25 September 2017, yang menghukum PT. Asuransi Raya untuk membayar Sejumlah Rp. 2.000.158.225 (dua milyar seratus lima puluh delapan ribu dua ratus dua puluh lima rupiah) serta dengan bunga sebesar Rp.10.000.791 (sepuluh juta tujuh ratus sembilan puluh satu rupiah) setiap bulannya tertanggal 15 Desember 2016, sampai saat ini PT Asuransi Raya sendiri tidak pernah merealisasi dan menjalankan keputusan Pengadilan tersebut.
Bak hilang tertelan, kantor PT.Asuransi Raya sendiri tidak jelas keberadaannya. Beberapa media seperti tirto.id pernah menghubungi kantor tersebut, namun yang terjadi adalah setelah telpon diangkat, maka kemudian dimatikan. Dalam Persoalan Terkait dengan PT. Asuransi Raya, OJK sendiri seolah lepas tangan. Selain hanya melakukan pencabutan terhadap izin PT. Asuransi Raya, OJK tidak pernah melakukan tindakan kongkrit berupa permohonan pailit terhadap Asuransi Raya guna penyelesaikan kewajiban terhadap Kreditur. Padahal dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang(“UU KPKPU”) beralih menjadi kewenangan OJK.
Perlu menjadi Perhatian Khusus OJK dan YLKI mengingat masih banyaknya pemegang polisi Asuransi Raya yang dirugikan serta pihak-pihak ketiga yang mungkin bernasib sama dengan PT. Putra Hadisurya Mahesa. Tentunya masih segar dalam ingatan kita bersama, persoalan First Travel yang memakan banyak korban masyarakat awan, kiranya OJK harus lebih instens memberikan perhatian khusus terhadap kasus Asuransi Raya ini, guna mencegah “Skema Ponzi” berbungkus asuransi. (lex)